tulisan |
In Schola |
[oleh
: Benjo] |
Sekolah... satu kata ini agaknya sudah akrab dengan keseharian
kita. Walaupun sekarang kita sudah kuliah, kita tak dapat
memungkiri kalau kita masih berada di sekolah. Seringkali sekolah
menjadi tempat yang sungguh membosankan dan menjengkelkan karena
segudang hal yang didalamnya. Saat ini, aku kembali ingin
bersharing tentang hal itu. Inilah pengalaman hidup yang ingin aku
bagikan.
Pengalaman ini aku dapatkan ketika mendampingi rekoleksi
siswa-siswi Don Bosco Semarang. Saat itu aku diberi tugas untuk
membahas tentang pendidikan di sekolah. Pertama kali, aku bertanya
apakah yang akan aku bagikan kepada mereka, tetapi kemudian aku
ingat bahwa akupun mempunyai pengalaman yang berharga tentang
sekolahku. Aku mengumpulkan kenangan-kenangan yang ada mengenai
sekolahku. Ternyata aku menemukan bahwa sekolah menjadi sebuah
tempat yang memberikan kehidupan, memberikan tawaran nilai yang
positif dalam hidupku. Banyak yang aku dapatkan dari pengalaman
hidupku ini. Sekolah sungguh menjadi tempat menimba hidup.
Pengalaman banyak berkata bahwa sekolah kadangkala menjadi tempat
yang menjengkelkan dan membosankan. Mengapa itu terjadi? Karena
seseorang masih menganggap sekolah sebagai segudang aturan dan
tugas yang harus dipikul. Banyak anak muda, termasuk aku dulu,
beranggapan bahwa masa kuliah adalah masa yang sungguh nikmat.
Dari satu segi, aku membenarkan itu karena di dalam kuliah,
seseorang dianggap memiliki kedewasaan pribadi, misalnya saat
absen dalam tanda tangan kuliah. Seseorang bisa saja mencoretkan
tanda tangan walaupun tidak menghadiri bangku kuliah, tetapi
disini dibutuhkan kedewasaan pribadi. Itu barus satu segi, tetapi
disisi lain dalam kuliah dibutuhkan tanggungjawab yang lebih
besar. Tanggungjawab itu adalah tanggungjawab sebagai mahasiswa.
Mahasiswa berasal dari kata maha yang berarti lebih dan siswa yang
berarti murid. Secara harafiah, mahasiswa adalah murid yang
"lebih".
Dimana letak kelebihannya? Salah satu yang dapat aku jawab adalah
dalam hal tanggungjawab dan kedewasaan pribadi.
"Schola" sendiri berarti pendidikan ilmiah, uraian,
penjelasan risalah, kuliah, tempat belajar. Bagi kita yang
mahasiswa, apakah arti dari schola ini apa yang dapat kita
pelajari dari bangku kuliah sebagai schola kita. Menurut jawaban
pribadiku, hal itu adalah tanggungjawab dan kebebasan serta
kedewasaan pribadi. Disini saya selalu tertarik dengan tulisannya
Ami di Anyaman Enam; disiplin adalah proses belajar "to
learn" dari tuntutan yang ada. Kita adalah mahasiswa, seorang
siswa yang "lebih". Mampukah kita menempatkan diri
sebagai mahasiswa? Aku selalu ingat apa yang dikatakan dosen
Inggrisku, "Kalian adalah mahasiswa, college student.
Berbuatlah lebih dari siswa biasa." inilah yang harus
terus-menerus ditekuni.
Sebagai penutup, aku ingin membagikan sesuatu yang aku dapatkan
dari pertemuanku dengan Romo Uskup. Beliau mengatakan
"Sekolah hendaknya kembali pada arti yang sesungguhnya.
'Schola' adalah tempat yang mampu menjadi tempat pengendapan,
tempat yang teduh untuk mengembangkan potensi-potensi yang
dimiliki oleh pribadi-pribadi yang terlibat di dalamnya, serta
menjadi tempat belajar hidup" (Audiensi dengan Romo Uskup
Agung Semarang, Mgr. I. Suharyo, Mertoyudan, 29 Agustus 1999).
Inilah sekolah yang sesungguhnya, dimana kita mampu mengembangkan
diri. Aku percaya bahwa kita sebagai mahasiswa mampu mengembangkan
diri. Aku percaya bahwa kita sebagai mahasiswa pasti lebih
mampu menyadari kebenaran ini. Aku berharap agar
banyak orang semakin menyelami arti "schola" sebenarnya
dan mampu menimba kebenaran hidup darinya. Semoga kita sebagai
murid-murid Yesus mampu semakin bersyukur dan menikmati anugerah
hidup yang diberikan olehNya. Akhir kata: selamat belajar dan
menyelami hidup di bangku kuliah sebagai "schola" kita.
Berkah Dalem!
|
*** |
|
tulisan |
Kalau
Adam Nggak Jatuh Cinta Pada Hawa |
[oleh
: Nita] |
Demen nonton Cerita Cinta? Atau paling nggak, pernah dong sekali
atau dua kali nyimak sinetron yang tayang tiap Senin jam 21.00 di
Indosiar. Pada episode Senin 2 Juli di akhir cerita ada adegan dua
orang anak adam yang lagi 'bobo bareng' dan membuat terkejut
seorang hawa yang membuka pintu kamar. Lanjutannya silakan nonton
sendiri. Paling tidak adegan tersebut bisa memberi gambaran bahwa
homoseksual itu ada dalam realitas hidup sehari-hari, meskipun
untuk tetap mempertahankan perilaku demikian mereka harus
berhadapan dengan norma masyarakat yang sampai saat ini hanya
memberi ruang pada heteroseksual.
Homoseksual yang terbagi menjadi perilaku gay(bagi laki-laki) dan
lesbian(bagi perempuan) sudah ada sejak peradaban Yunani kuno,
Romawi, dan Persia. Homoseksual tidak hanya dipandang sebagai
tingkah laku seksual belaka, namun juga mengambil peran dalam
ritual pemujaan terhadap dewa tertentu. Pandangan mengenai
homoseksual memang selalu mendapat reaksi miring dari lingkungan
sosial di sekitarnya. Kaum ini seringkali dikambinghitamkan
sebagai biang keladi dari masalah-masalah sosial padahal mereka
yang sebenarnya menjadi korban. Penindasan terhadap kaum ini juga
berkaitan dengan keperluan sistem kapitalis untuk memproduksi
tenaga kerja lewat struktur-struktur ideologis lewat keluarga
"normal". Orang yang tidak dapat menyesuaikai diri untuk
memainkan peranan sebagai laki-laki atau perempuan
"normal" dianggap sebagai ancaman terhadap ketertiban
sosial. Prasangka ini tercermin pula dalam konstruksi sosial
budaya dimana kaum homoseksual dianggap tidak senonoh, bisa
di-PHK, dipukul, dilecehkan, bahkan dibunuh lantaran gaya hidup
mereka yang berbeda.
Dalam pemikiran Marxis yang diuraikan Engels dalam tulisannya
"The Origin of the Family, Private Property and the
State," ideologi keluarga, hak milik pribadi dan negara
inilah yang mengharamkan homoseksualitas, karena bertentangan
dengan asas bahwa keluarga sebagai institusi ekonomi dalam sistem
kapitalis bersifat heteroseksual dan monogam.
Seiring dengan berjalannya waktu, pandangan mengenai homoseksual
sebagai penyakit mental yang harus dilenyapkan mulai berubah.
Banyak psikolog barat yang menyatakan bahwa homoseksual itu bukan
perilaku menyimpang akan tetapi perilaku alami. Pada tahun 1973,
APA (American Psychiatric Association) tidak lagi menganggap
homoseksual sebagai mental disorder. Pernyataan ini kemudian
diikuti oleh American Law Institute dan WHO yang menghapus
predikat penyakit mental sejak 1981. Yang terbaru adalah
pernyataan APA mengenai penelitian terhadap homoseksual, bahwa
perilaku ini merupakan suatu cara mengungkapkan rasa cinta dan
seksualitas. Penelitian tentang penilaian, stabilitas, reabilitas,
dan vocasional adaptivitas semuanya menunjukkan bahwa orientasi
homoseksual sebenarnyaberada di tempat yang paling awal dari
lingkaran kehidupan, bahkan mungkin sudah ada sebelum lahir.
Setiap orang punya bakat alami ini, sedangkan faktor lingkungan
jelas merupakan proses adaptasi dan identifikasi sehingga
seseorang laki-laki merasa dirinya laki-laki, perempuan merasa
dirinya perempuan, ataupun sebaliknya seperti yang terjadi pada
saudara-saudara kita kaum homoseksual. |
*** |
|
|
|
tulisan |
Stop Violence Against Women
! |
[oleh : Nita] |
Kekerasan
terhadap perempuan ternyata masih terjadi sampai sekarang. Bentuk
kekerasan ini tidak hanya terjadi pada pasangan yang telah berumah
tangga melainkan juga terjadi pada masa-masa pacaran atau punya
istilah keren “date rape”. Penelitian tabloid Aura bekerjasama dengan The Body
Shop, Mei 2000 membuktikan bahwa 9 dari 10 perempuan Indonesia
mengalami kekerasan.
Kekerasan
terjadi karena sampai sekarang dalam masyarakat kita masih ada
ketimpangan gender yang
bersumber pada budaya patriarkhi. Budaya seperti inilah yang
mengunggulkan laki-laki daripada perempuan, sehingga laki-laki
merasa lebih berkuasa sedangkan perempuan lebih rendah posisinya.
Sikap masyarakat ini menunjukkan tidak adanya kepekaan terhadap
ketimpangan gender, serta belum adanya kesadaran bahwa perempuan
punya hak dan kesempatan yang sama dengan laki-laki. Mereka
diyakinkan bahwa untuk menjadi perempuan yang baik mereka harus
menurut, mengalah, bahkan harus merasa beruntung jika ada
laki-laki yang mau menjadi pasangan mereka. Pandangan yang
mencetak perempuan menjadi sosok lemah ini memberi kesempatan pada
terjadinya tindak kekerasan terhadap mereka.
Date
rape bisa menimpa siapa saja bahkan kita yang sudah mengaku
modern dan mengenyam
pendidikan yang relatif tinggi. Kerapkali perempuan yang menjadi
korban tidak berani mengungkapkan apa yang dialaminya, seperti
kasus Surti (nama dan alamat ada pada redaksi) berikut ini.Surti
merasa Tejo sering memperlakukannya dengan kasar, mengajak kencan
dengan ancaman, “Kalo nggak mau…awas kamu!!” sambil
menjambak rambut atau mendorongnya dengan kasar. Belum lagi Surti
selalu dicemburuin dan dilarang bergaul dengan temannya dengan
alasan ntar ditaksir cowok lain, atau nggak etis kalau cewek suka
keluyuran, etc. |
|
|
Kalau
Surti nekat juga, wah… perang dunia deh, tapi anehnya Tejo nggak
pernah memberlakukan batasan itu bagi dirinya sendiri. Meskipun
begitu Surti selalu menyalahkan dirinya dan membenarkan perilaku
Tejo. Bahkan setelah Surti curhat pada seorang teman, dan teman
itu menyarankannya untuk meninggalkan Tejo, Surti bertahan karena
masih sayang, cinta, dsb…. mengingat Tejo sangat romantis jika
tidak sedang marah.
Kekerasan
macam ini terus berlangsung di sekitar kita karena perempuan
terkadang tidak berdaya untuk keluar dari siklus kekerasan seperti
yang dialami Surti: terjadi kekerasan--minta maaf--hubungan terasa
lebih manis--terjadi ketegangan lagi--terjadi kekerasan
lagi--minta maaf lagi….dan seterusnya. Tidak ada ciri-ciri fisik
yang dapat membedakan pelaku atau calon pelaku kekerasan terhadap
perempuan. Dalam banyak kasus, laki-laki pelaku ini sangat ramah,
baik, sopan, romantis, dan menimbulkan rasa percaya pada banyak
orang. Pada kenyataaannya, pelaku kekerasan terhadap perempuan
memiliki cacat kepribadian yang tidak tampak dari luar. Perilaku
kekerasan baru akan tampak jika dia sudah memasukkan korban dalam
lingkaran pengaruhnya (pacar, tunangan, bahkan istri).
Perempuan sendirilah dalam kasus date
rape semacam ini yang harus berani memperjuangkan nasibnya.
Terkadang ketakutan perempuan sendirilah yang pada akhirnya
memberi kesempatan pada terjadinya kekerasan baru.
So….bersatulah cewek-cewek
smart , jangan
biarkan ketidakadilan terus menimpa
kaum kita.
Maaf ya…..bapak-bapak, jangan marah lho…… |
*** |
|
|
|
|
|
|