edisi Agustus 2001, vol 6 / 5
ARTIKEL 1 

tulisan
In Schola
[oleh : Benjo]
       Sekolah... satu kata ini agaknya sudah akrab dengan keseharian kita. Walaupun sekarang kita sudah kuliah, kita tak dapat memungkiri kalau kita masih berada di sekolah. Seringkali sekolah menjadi tempat yang sungguh membosankan dan menjengkelkan karena segudang hal yang didalamnya. Saat ini, aku kembali ingin bersharing tentang hal itu. Inilah pengalaman hidup yang ingin aku bagikan.

       Pengalaman ini aku dapatkan ketika mendampingi rekoleksi siswa-siswi Don Bosco Semarang. Saat itu aku diberi tugas untuk membahas tentang pendidikan di sekolah. Pertama kali, aku bertanya apakah yang akan aku bagikan kepada mereka, tetapi kemudian aku ingat bahwa akupun mempunyai pengalaman yang berharga tentang sekolahku. Aku mengumpulkan kenangan-kenangan yang ada mengenai sekolahku. Ternyata aku menemukan bahwa sekolah menjadi sebuah tempat yang memberikan kehidupan, memberikan tawaran nilai yang positif dalam hidupku. Banyak yang aku dapatkan dari pengalaman hidupku ini. Sekolah sungguh menjadi tempat menimba hidup.

       Pengalaman banyak berkata bahwa sekolah kadangkala menjadi tempat yang menjengkelkan dan membosankan. Mengapa itu terjadi? Karena seseorang masih menganggap sekolah sebagai segudang aturan dan tugas yang harus dipikul. Banyak anak muda, termasuk aku dulu, beranggapan bahwa masa kuliah adalah masa yang sungguh nikmat. Dari satu segi, aku membenarkan itu karena di dalam kuliah, seseorang dianggap memiliki kedewasaan pribadi, misalnya saat absen dalam tanda tangan kuliah. Seseorang bisa saja mencoretkan tanda tangan walaupun tidak menghadiri bangku kuliah, tetapi disini dibutuhkan kedewasaan pribadi. Itu barus satu segi, tetapi disisi lain dalam kuliah dibutuhkan tanggungjawab yang lebih besar. Tanggungjawab itu adalah tanggungjawab sebagai mahasiswa. Mahasiswa berasal dari kata maha yang berarti lebih dan siswa yang berarti murid. Secara harafiah, mahasiswa adalah murid yang "lebih".

       Dimana letak kelebihannya? Salah satu yang dapat aku jawab adalah dalam hal tanggungjawab dan kedewasaan pribadi. 

       "Schola" sendiri berarti pendidikan ilmiah, uraian, penjelasan risalah, kuliah, tempat belajar. Bagi kita yang mahasiswa, apakah arti dari schola ini apa yang dapat kita pelajari dari bangku kuliah sebagai schola kita. Menurut jawaban pribadiku, hal itu adalah tanggungjawab dan kebebasan serta kedewasaan pribadi. Disini saya selalu tertarik dengan tulisannya Ami di Anyaman Enam; disiplin adalah proses belajar "to learn" dari tuntutan yang ada. Kita adalah mahasiswa, seorang siswa yang "lebih". Mampukah kita menempatkan diri sebagai mahasiswa? Aku selalu ingat apa yang dikatakan dosen Inggrisku, "Kalian adalah mahasiswa, college student. Berbuatlah lebih dari siswa biasa." inilah yang harus terus-menerus ditekuni.

        Sebagai penutup, aku ingin membagikan sesuatu yang aku dapatkan dari pertemuanku dengan Romo Uskup. Beliau mengatakan "Sekolah hendaknya kembali pada arti yang sesungguhnya. 'Schola' adalah tempat yang mampu menjadi tempat pengendapan, tempat yang teduh untuk mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki oleh pribadi-pribadi yang terlibat di dalamnya, serta menjadi tempat belajar hidup" (Audiensi dengan Romo Uskup Agung Semarang, Mgr. I. Suharyo, Mertoyudan, 29 Agustus 1999). Inilah sekolah yang sesungguhnya, dimana kita mampu mengembangkan diri. Aku percaya bahwa kita sebagai mahasiswa mampu mengembangkan diri. Aku percaya bahwa kita sebagai mahasiswa pasti lebih mampu   menyadari kebenaran ini. Aku berharap agar banyak orang semakin menyelami arti "schola" sebenarnya dan mampu menimba kebenaran hidup darinya. Semoga kita sebagai murid-murid Yesus mampu semakin bersyukur dan menikmati anugerah hidup yang diberikan olehNya. Akhir kata: selamat belajar dan menyelami hidup di bangku kuliah sebagai "schola" kita. Berkah Dalem!

***
tulisan
Kalau Adam Nggak Jatuh Cinta Pada Hawa
[oleh : Nita]

       Demen nonton Cerita Cinta? Atau paling nggak, pernah dong sekali atau dua kali nyimak sinetron yang tayang tiap Senin jam 21.00 di Indosiar. Pada episode Senin 2 Juli di akhir cerita ada adegan dua orang anak adam yang lagi 'bobo bareng' dan membuat terkejut seorang hawa yang membuka pintu kamar. Lanjutannya silakan nonton sendiri. Paling tidak adegan tersebut bisa memberi gambaran bahwa homoseksual itu ada dalam realitas hidup sehari-hari, meskipun untuk tetap mempertahankan perilaku demikian mereka harus berhadapan dengan norma masyarakat yang sampai saat ini hanya memberi ruang pada heteroseksual.

       Homoseksual yang terbagi menjadi perilaku gay(bagi laki-laki) dan lesbian(bagi perempuan) sudah ada sejak peradaban Yunani kuno, Romawi, dan Persia. Homoseksual tidak hanya dipandang sebagai tingkah laku seksual belaka, namun juga mengambil peran dalam ritual pemujaan terhadap dewa tertentu. Pandangan mengenai homoseksual memang selalu mendapat reaksi miring dari lingkungan sosial di sekitarnya. Kaum ini seringkali dikambinghitamkan sebagai biang keladi dari masalah-masalah sosial padahal mereka yang sebenarnya menjadi korban. Penindasan terhadap kaum ini juga berkaitan dengan keperluan sistem kapitalis untuk memproduksi tenaga kerja lewat struktur-struktur ideologis lewat keluarga "normal". Orang yang tidak dapat menyesuaikai diri untuk memainkan peranan sebagai laki-laki atau perempuan "normal" dianggap sebagai ancaman terhadap ketertiban sosial. Prasangka ini tercermin pula dalam konstruksi sosial budaya dimana kaum homoseksual dianggap tidak senonoh, bisa di-PHK, dipukul, dilecehkan, bahkan dibunuh lantaran gaya hidup mereka yang berbeda.

       Dalam pemikiran Marxis yang diuraikan Engels dalam tulisannya "The Origin of the Family, Private Property and the State," ideologi keluarga, hak milik pribadi dan negara inilah yang mengharamkan homoseksualitas, karena bertentangan dengan asas bahwa keluarga sebagai institusi ekonomi dalam sistem kapitalis bersifat heteroseksual dan monogam.

       Seiring dengan berjalannya waktu, pandangan mengenai homoseksual sebagai penyakit mental yang harus dilenyapkan mulai berubah. Banyak psikolog barat yang menyatakan bahwa homoseksual itu bukan perilaku menyimpang akan tetapi perilaku alami. Pada tahun 1973, APA (American Psychiatric Association) tidak lagi menganggap homoseksual sebagai mental disorder. Pernyataan ini kemudian diikuti oleh American Law Institute dan WHO yang menghapus predikat penyakit mental sejak 1981. Yang terbaru adalah pernyataan APA mengenai penelitian terhadap homoseksual, bahwa perilaku ini merupakan suatu cara mengungkapkan rasa cinta dan seksualitas. Penelitian tentang penilaian, stabilitas, reabilitas, dan vocasional adaptivitas semuanya menunjukkan bahwa orientasi homoseksual sebenarnyaberada di tempat yang paling awal dari lingkaran kehidupan, bahkan mungkin sudah ada sebelum lahir. Setiap orang punya bakat alami ini, sedangkan faktor lingkungan jelas merupakan proses adaptasi dan identifikasi sehingga seseorang laki-laki merasa dirinya laki-laki, perempuan merasa dirinya perempuan, ataupun sebaliknya seperti yang terjadi pada saudara-saudara kita kaum homoseksual.

 ***
     
tulisan
Stop Violence Against Women !
[oleh : Nita]

Kekerasan terhadap perempuan ternyata masih terjadi sampai sekarang. Bentuk kekerasan ini tidak hanya terjadi pada pasangan yang telah berumah tangga melainkan juga terjadi pada masa-masa pacaran atau punya istilah keren “date rape”. Penelitian tabloid Aura bekerjasama dengan The Body Shop, Mei 2000 membuktikan bahwa 9 dari 10 perempuan Indonesia mengalami kekerasan.

Kekerasan terjadi karena sampai sekarang dalam masyarakat kita masih ada ketimpangan gender yang bersumber pada budaya patriarkhi. Budaya seperti inilah yang mengunggulkan laki-laki daripada perempuan, sehingga laki-laki merasa lebih berkuasa sedangkan perempuan lebih rendah posisinya. Sikap masyarakat ini menunjukkan tidak adanya kepekaan terhadap ketimpangan gender, serta belum adanya kesadaran bahwa perempuan punya hak dan kesempatan yang sama dengan laki-laki. Mereka diyakinkan bahwa untuk menjadi perempuan yang baik mereka harus menurut, mengalah, bahkan harus merasa beruntung jika ada laki-laki yang mau menjadi pasangan mereka. Pandangan yang mencetak perempuan menjadi sosok lemah ini memberi kesempatan pada terjadinya tindak kekerasan terhadap mereka.

Date rape bisa menimpa siapa saja bahkan kita yang sudah mengaku modern dan  mengenyam pendidikan yang relatif tinggi. Kerapkali perempuan yang menjadi korban tidak berani mengungkapkan apa yang dialaminya, seperti kasus Surti (nama dan alamat ada pada redaksi) berikut ini.Surti merasa Tejo sering memperlakukannya dengan kasar, mengajak kencan dengan ancaman, “Kalo nggak mau…awas kamu!!” sambil menjambak rambut atau mendorongnya dengan kasar. Belum lagi Surti selalu dicemburuin dan dilarang bergaul dengan temannya dengan alasan ntar ditaksir cowok lain, atau nggak etis kalau cewek suka keluyuran, etc. 


Kalau Surti nekat juga, wah… perang dunia deh, tapi anehnya Tejo nggak pernah memberlakukan batasan itu bagi dirinya sendiri. Meskipun begitu Surti selalu menyalahkan dirinya dan membenarkan perilaku Tejo. Bahkan setelah Surti curhat pada seorang teman, dan teman itu menyarankannya untuk meninggalkan Tejo, Surti bertahan karena masih sayang, cinta, dsb…. mengingat Tejo sangat romantis jika tidak sedang  marah.

Kekerasan macam ini terus berlangsung di sekitar kita karena perempuan terkadang tidak berdaya untuk keluar dari siklus kekerasan seperti yang dialami Surti: terjadi kekerasan--minta maaf--hubungan terasa lebih manis--terjadi ketegangan lagi--terjadi kekerasan lagi--minta maaf lagi….dan seterusnya. Tidak ada ciri-ciri fisik yang dapat membedakan pelaku atau calon pelaku kekerasan terhadap perempuan. Dalam banyak kasus, laki-laki pelaku ini sangat ramah, baik, sopan, romantis, dan menimbulkan rasa percaya pada banyak orang. Pada kenyataaannya, pelaku kekerasan terhadap perempuan memiliki cacat kepribadian yang tidak tampak dari luar. Perilaku kekerasan baru akan tampak jika dia sudah memasukkan korban dalam lingkaran pengaruhnya (pacar, tunangan, bahkan istri).

            Perempuan sendirilah dalam kasus date rape semacam ini yang harus berani memperjuangkan nasibnya. Terkadang ketakutan perempuan sendirilah yang pada akhirnya memberi kesempatan pada terjadinya kekerasan baru. So….bersatulah cewek-cewek  smart , jangan biarkan ketidakadilan terus menimpa  kaum kita.

Maaf ya…..bapak-bapak, jangan marah lho……

***
     

  
-sadmajawarta(triwulan) 2001, bulletin - alumni angkatan enam smu pangudi luhur van lith muntilan-